URSULIN, 150 TAHUN
MENCERDASKAN BANGSA
Para biarawati Ursulin telah 150 tahun hadir di negeri ini. Mereka tak hanya mendirikan sekolah, mendidik, dan menghasilkan murid berkualitas, namun juga membangun peradaban di setiap wilayah perutusan. Sebagian jejak bangsa ada dalam karya mereka.
Penulis: Mayong S. Laksono dan Nis Antari
"Walaupun saya anak Mohammad Hatta, saya juga ikut membersihkan WC seperti teman-teman lain. Tetap dihukum kalau melanggar. Semua diperlakukan sama. Dari situ saya belajar untuk tidak membeda-bedakan orang," itulah kesan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Dr. Meutia Farida Hatta Swasono, tentang pendidikan yang didapatnya semasa SMP dan SMA Santa Ursula Jakarta (Hidup 6 Februari 2006).
Lewat disiplin dan penggemblengan guru, Meutia banyak belajar tentang nilai-nilai luhur kehidupan. Pendidikan di Santa Ursula memberi banyak kontribusi pada sikap mentalnya. Salah satunya tentang fleksibilitas. "Sampai jadi menteri pun saya ingat ajaran suster: mampu hidup di mana pun. Kalau pergi ke kampung-kampung, saya tidak jijik," tambah alumnus SMA Santa Ursula tahun 1966 ini.
Menteri Meutia adalah salah satu dari ribuan mantan murid lembaga pendidikan Ursulin yang dikelola para suster biarawati dari Ordo Santa Ursula (OSU). Di Jakarta ada sekolah Santa Ursula (Sanur) di Jln. Pos, Santa Maria di Jln. Ir. H. Juanda, Santa Theresia di Jln. Wahid Hasyim, dan Santo Vincentius di Jln. Otto Iskandardinata. Di Provinsi Banten ada Santa Ursula Bumi Serpong Damai (BSD).
Di kota lain, Santa Maria di Surabaya, Cor Jesu di Malang, Santa Angela di Bandung, Regina Pacis di Bogor (sebelum dialihkan ke kongregasi biarawati CMM pada 1947). Di Klaten, Jawa Tengah, ada sekolah Maria Assumpta, disusul Solo dengan nama Regina Pacis, kemudian di Ende, Flores. Di Poso, Sulawesi Tengah, pernah ada sekolah, namun hanya bertahan 12 tahun (1988 - 2000) karena dijarah dan hancur selama masa kerusuhan.
Di Labuan Bajo, Flores, dan di Timor Timur (Baucau 1986 dan Dili 1996) namun semua berakhir setelah referendum kemerdekaan pada September 1999. Di Kotamubagu, Sulawesi Utara, mereka mengelola sekolah Theodorus.
Tentu saja tidak hanya sekolah dan pendidikan kejuruan. Di setiap daerah perutusan mereka selalu melakukan pengabdian kepada masyarakat seperti panti asuhan, pelayanan kesehatan, kursus keterampilan, dan aktivitas sosial dan pastoral. Misalnya, di Sunter (Jakarta Utara) dan Kampung Sawah (Bekasi). Di Sukabumi dan Bandung ada beberapa tempat selain pusat biara dan pendidikan calon biarawati. Juga di Pacet (Jawa Timur), di Cisantana (Jawa Barat) dan Baturetno, Wonogiri (Jawa Tengah). Di Ruteng, Borong, dan Maurole di Flores. Ewer dan Agats di Papua, di Yogyakarta, di Atambua, Timor Barat, di Nangapinoh, Kalimantan Barat, bahkan di Fairview, Quezon City, Manila.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar